*** Metamorfosis Cinta ***
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, dari dulu hingga kini, keangkuhan atau kesombongan senantiasa mengiringi langkah-langkah manusia, termasuk saya. Dimanapun berada, di langit ataukah di bumi; di istana, di kolong jembatan, di gereja, di masjid, di wihara, di klenteng, di pasar-pasar, di sekolahan, di tempat prostitusi, di tempat perjudian, di kantor-kantor, di rumah-rumah, selama ada manusia maka keangkuhan selalu mengikuti. Keangkuhan selamanya mengawasi dan mengancam manusia yang masih hidup, tidak peduli tua ataukah muda. Angkuh juga tidak peduli siapa yang dihadapannya, akankah orang tua atas anaknya, anak terhadap orang tuanya, bos menghadapi karyawannya, sebaliknya karyawan dengan bosnya, seorang ulama, pendeta, biksu, atau tokoh agama apapun atas umatnya. Sedetik pun keangkuhan tidak akan pernah istirahat. Keangkuhan selalu berusaha sebisa mungkin untuk merasuki manusia. Tatkala keangkuhan telah masuk di dalam diri manusia, maka dampak negatifnya muncul, baik yang tampak ataukah tidak. Dampak negatif itu pun beragam, dari yang hanya diterima oleh diri manusia yang dirasuki itu sendiri sampai orang lain, dari yang dirasakan oleh orang yang terbatas hingga orang dalam jumlah yang sangat banyak, dari yang diterima oleh kalangan manusia saja hingga semua yang ada di alam. Tiada seorang pun yang bisa terbebas dari iringan dan ancaman keangkuhan. Namun demikian, manusia memiliki akal dan hati untuk mendeteksi sampai mengetahui saat angkuh mulai merasuki dirinya. Di sinilah kemudian sisi kemanusiaannya diuji, apakah manusia memiliki keberanian untuk melawan dan mengeluarkan dari dirinya, ataukah justru membiarkan, dan terlebih lagi menikmati keangkuhan menggerakkan dirinya.
Apa itu angkuh?
Apabila melihat di kamus Thesaurus Bahasa Indonesia (PBDPN, 2008, hal. 23), angkuh memiliki banyak padanan kata, meskipun dari kata-kata yang sinonim tersebut juga ada yang memiliki pengertian yang cukup jauh. Di antara kata yang memiliki pengertian yang hampir serupa dengan kata angkuh adalah, sok, tinggi hati, sombong, takabbur. Kemudian menurut kamus bahasa Indonesia (PBDPN, hal. 72), angkuh memiliki pengertian suka memandang rendah terhadap yang lain. Namun demikian, pengertian tersebut apabila dimasukkan ke ranah aplikatif (dalam penerapannya), masih terasa sulit. Sehingga di sini sedikit diulas lebih mendalam pengertian angkuh dengan merujuk kamus bahasa Indonesia.
Apabila ditinjau dari pengertian kebahasaan di atas, angkuh merupakan ketidak adanya rasa hormat, rasa menghargai, rasa mengasihi, rasa menyayangi, terhadap yang lain, dan tidak adanya rasa kemanusiaan dan kealaman lainnya. Angkuh lebih menitik beratkan pada sisi-sisi (hal-hal) yang lebih kecil, temporar, terbatas, sempit, dan seterusnya.
Untuk memudahkan memahami tentang angkuh, di sini saya akan menjadikan angkuh sebagai “makhluk” yang berada di luar diri manusia, bukan yang berada di dalamnya. Maksud tersebut yaitu, agar lebih gampang bagaimana cara mendeteksi angkuh. Apabila ini diterima, dengan demikian ada dua objek yang dikaji yakni, angkuh dan manusia, dengan melihat keduanya sebagai makhluk.
Dengan demikian, di sini dilanjutkan dengan penjelasan angkuh itu makhluk apa. Angkuh merupakan makhluk yang tidak berbadan, dan angkuh bisa bergerak dengan cara “meminjam” badan manusia. Angkuh adalah makhluk yang membawa misi merusak yang terkait dengan ,manusia, baik perihal kemanusiaan ataukan kealaman. Sedikitpun, angkuh tidak ada kebaikan di dalam dirinya, melainkan merusak dan terus merusak.
Adapun manusia adalah makhluk yang tidak ada angkuh di dalam dirinya, maka manusia ketika melihat manusia yang lain, ia akan mengetahui dan menaruh sikap kemanusiaan mengingat atas dirinya sendiri, dan perbuatannya senantiasa mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensinya terhadap yang melingkupi dirinya (baca: alam) terkait dengan di masanya maupun generasi manusia selanjutnya.
Akan tetapi, manusia tidak lagi menjadi dirinya, manakala “makhluk” angkuh merasuki dan menguasai diri manusia. Sehingga, perilakunya yang berasaskan kemanusiaan dan kealaman tertutup oleh angkuh, serta langkahnya pun disutradarai oleh “makhluk” angkuh. Dengan demikian, begitu manusia dimasuki makhluk angkuh dan menerima begitu saja, maka manusia itu bukan lagi sebagai manusia yang sebenarnya, melainkan ia telah menjadi angkuh yang berwujud manusia. Apabila “makhluk” angkuh semakin berkuasa atas diri manusia hingga menggerakkan tubuhnya (yang dirasuki) itu terasa (berdampak) ke wilayah luar, maka satu-satunya jalan agar dampak yang ditimbulkan itu tidak membesar adalah membunuh “makhluk” angkuh tersebut. Cara membunuh “makhluk” angkuh yang kekuasaannya mencapai itu, yaitu satu-satunya jalan dengan “membunuh” manusia yang sedang digerakkan (dikuasai) secara total olehnya itu.
Secara personal, orang yang dirasuki “makhluk” angkuh selama ini sering dicirikan dengan orang yang mukanya melengkung (baca: cuek), saat berjalan terlihat dadanya membusung, saat bicara terkesan intonasinya kurang umum (tidak lembut), dst. Secara umum, itu terkadang ada benarnya, akan tetapi sering juga dijumpai orang yang demikian sama sekali tidak terasuki “makhluk” angkuh, bahkan justru banyak orang yang terlihat santai dan sopan, namun “makhluk” angkuh menguasai penuh diri orang tersebut. Sekali lagi, angkuh secara lahir tidaklah terlihat, namun bukan berarti tidak dapat menampakkan, karena begitu secara dzahir mempertunjukkan, maka akan menimbulkan efek negatif baik bagi diri manusia yang dirasukinya maupun yang di sekitar pelaku itu.
Kategori angkuh?
Angkuh di sini dikategorikan menjadi dua yaitu, keangkuhan personal dan keangkuhan kolektif:
1. Keangkuhan Personal
Keangkuhan personal adalah keangkuhan yang ada pada diri seseorang, akan tetapi memiliki ekses keluar, baik yang terduga sebelumnya ataukah tidak. Keangkuhan personal, dalam tindakan keluar, bisa melalui cara yang spontanitas ataupun secara terukur.
2. Keangkuhan kolektif
Keangkuhan kolektif adalah keangkuhan yang masuk di “tubuh” suatu kelompok/golongan/institusi, melalui oknum (manusia) yang berada di dalam institusi tersebut. Dampak keangkuhan kolektif jauh lebih berbahaya dan lebih sulit ditanggulangi. Keangkuhan kolektif, bisa lahir karena: 1) adanya pengorganisiran keangkuhan personal sehingga terbentuk secara sadar dan disengaja akan institusi angkuh tersebut, 2) adanya kultur keangkuhan person pada suatu institusi yang notabene memiliki ADART yang baik, sehingga intitusi itu tidak berjalan selayaknya, melainkan dibuat-buat agar terlihat sah melegalkan kultur keangkuhan person yang menjalankan institusi itu, 3) adanya institusi yang memiliki ADART yang baik, namun terdapat oknum (keangkuhan personal) yang memiliki kewenangan lebih di dalamnya, sehingga institusi itu tidak berjalan semestinya.
Dampak-dampaknya:
1. Dampak keangkuhan personal
“Makhluk” angkuh menyerang sangat cepat, dan apabila tidak pandai mengendalikan diri, “makhluk” angkuh tersebut dengan mudah menguasai diri seseorang, hingga orang tersebut kehilangan kesadarannya atas dirinya sendiri, sehingga menjadikan dirinya orang yang dungu. Akibat dari kedunguan ini adalah, tidak menerimanya diri atas kebenaran yang sedang didepannya, dan lebih memilih apa yang menjadi pilihan “makhluk” angkuh. Dengan adanya dampak pribadi yang demikian, tentu akan menimbulkan dampak keluar, baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan, atau alam. Untuk lebih jelasnya, dampak dari angkuh, di sini diklasifikasikan menjadi tiga yakni:
* Angkuh membakar diri seseorang yang dikuasainya.
Orang yang dalam dirinya dikuasai “makhluk” angkuh, maka dia tidak akan mampu melihat kenyataan yang sebenarnya. Dia tidak dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Seandainya dia bisa mengenali sebuah kebenaran dan sebuah kesalahan, tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk mengambil yang benar. Dia lebih memilih yang salah, karena kuatnya angkuh mendominasi dalam dirinya, sehingga membawa perasaan gengsi, malu yang berlebihan atau ketakutan yang tidak bisa dinalar atas perasaan minder dan kekhawatiran terjatuh pada hal-hal yang dikiranya merusak citranya, dan seterusnya. Akibatnya, potensi akalnya tidak dihiraukan.
Misalnya: 1). Merasa sudah cukup dengan apa yang dimiliki, sehingga tidak lagi berbuat untuk mencarinya lagi, akibatnya orang tersebut tidak mampu membantu orang lain yang membutuhkannya, dan hanya ukup dengan dirinya sendiri saja (egois). 2). Merasa ilmunya sudah mapan, untuk kemudian ditransfernya ke orang lain, dan orang tersebut tidak lagi menghiraukan (lalai) dengan kebutuhan ilmu bagi dirinya sendiri (baca: tidak belajar), akibatnya ilmunya menjadi berhenti dan hanya berkutat pada ilmu yang dimilikinya saja. 3). dll.
* Bagaimana angkuh membakar orang lain melalui diri yang dikuasainya?
Ketika seseorang dikuasi oleh “makhluk” angkuh, maka dia akan melihat apa yang ada di depannya itu seolah serupa dengan apa yang digambarkan oleh “makhluk” angkuh yang ada di dalam dirinya. Orang itu pun tidak mampu melihat kebenaran orang yang ada di depannya. Dalam contoh kasusnya seringkali ditemui dengan beraneka ragam gaya.
Misalnya; 1). Ada seseorang yang menyampaikan gagasannya, kemudian ada yang membantah atau mengkritiknya. Orang yang dikritik tersebut merasa dirinya dihina, lalu emosi, baik emosi yang seketika itu ditumpahkan maupun disimpan (dendam), yang kemudian berusaha menjatuhkan orang yang mengkritik tersebut. Orang yang kecewa karena dikritik itu adalah angkuh. 2). Ada seseorang yang member bantuan, akan tetapi yang diberinya terlihat biasa-biasa saja, tanpa memberikan respon positif balik seperti pujian. Kemudian, pemberi sumbangan itu merasa kecewa dan berlanjut tidak lagi mau membantunya. Orang yang membantu itu adalah angkuh. 3). Ada seseorang yang menyampaikan ilmu (mengajar), namun yang di ajar seperti tidak memperhatikan. Kemudian, dari yang menyampaikan ilmun tersebut, merasa ilmu yang diberikan sia-sia, sehingga membuat sang pengajar kecewa dan memarahinya karena alasan ilmu dan waktu untuk menyampaikan itu tiada guna, atau dengan kata lain, kemarahan si pengajar bukan didasari rasa sayang terhadap yang di ajar melihat belajarnya kurang serius. Guru tersebut adalah angkuh. 4). Seorang guru yang merasa telah memberikan ilmunya, lalu ketika ada murid yang dirasa tidak sopan kepada dirinya, anaknya, atau keluarganya, guru tersebut merasa kecewa. Apalagi hingga guru tersebut emosi karena alasan yang demikian. Jelas guru tersebut adalah angkuh. 5). Ketika ada seorang bos yang merasa dirinya telah memberikan pekerjaan kepada karyawannya, hingga bos tersebut tidak melihat bahwa karyawan itu bekerja karena tenaganya sendiri bukan karena bosnya, lalu bos tersebut memperlakukan karyawannya sebagai orang rendahan, bos tersebut adalah angkuh.
* Bagaimana angkuh membakar alam melalui diri manusia yang dikuasainya?
Ketika seseorang yang dirasuki angkuh “meledak”, maka ia bisa merusak apa saja yang ada dihadapannya. Ia akan melakukan balas dendam apabila merasa disakiti, hingga kemudian melakukan perusakan yang besar.
Misalnya, 1). Ada seorang karyawan, yang suatu ketika dia tidak merasa dihargai oleh bosnya, lalu melakukan pembakaran. Atau seperti yang terjadi di suatu daerah pada tahun 1998, yang mana ada seorang karyawan suatu toko, karena diperlakukan secara keji oleh bosnya, lalu mengorganisir orang-orang, hingga kemudian meletuslah gerakan masyarakat yang cukup keras. Akibatnya, reformasi dibayar dengan harga yang tidak murah. Karyawan tersebut adalah angkuh. 2). Ada seseorang, yang mempunyai uang dan membeli hutan, lalu dia tebang semua tanaman yang berada di atas hutan tersebut dengan tidak mempedulikan bahaya besarnya, padahal sudah mengetahuinya, maka orang tersebut angkuh. 3). Serta contoh-contoh yang lainnya.
2. Dampak keangkuhan kolektif
Keangkuhan kolektif, dampaknya jauh lebih dahsyat daripada keangkuhan personal, karena keangkuhan kolektif lebih terkoordinir, lebih rapi, bisa bermuka delapan sekaligus (8 in 1): senang, sedih, terlihat ramah, terlihat sinis, terlihat berani, bermuka takut, terlihat bijak, terlihat arogan. Ini juga melihat, undang-undang atau peraturan adalah sekumpulan nilai. Apabila saya menganalogikakan, undang-undang atau peraturan itu seperti sebuah pisau. Pisau apabila yang menggunakan adalah penjahat, maka pisau itu akan digunakan untuk membunuh, akan tetapi apabila yang memakainya adalah tukang masak maka akan difungsikan selayaknya pisau untuk membantu meringankan beban kerjanya dalam mengolah masakan. Melalui analogi ini, maka undang-undang, apabila “operator”-nya, yaitu pihak yang berkaitan dengan itu, menjadikannya sebagai alat untuk “membunuh” (menjatuhkan) orang yang benar, tentu mudah saja, dan begitu sebaliknya apabila difungsikan untuk membebaskan orang yang tidak bersalah itu juga tidak sulit. Semua itu, tinggal bagaimana “operator”-nya menggunakannya.
* Angkuh membakar diri institusi yang dikuasainya.
Keangkuhan kolektif, bahayanya bisa membakar pada institusi itu sendiri, baik yang akan langsung dirasakan ataukah terdapat jeda.
Misalnya: 1). Ada sebuah institusi, yang dalam menjalankan operasional kerjanya tidak melihat komentar/ pendapat orang/institusi di luar institusinya, kemudian ia melakuka
* Angkuh membakar orang lain / institusi lain melalui institusi yang dikuasainya?
Keangkuhan kolektif, bahaya yang ditimbulkan ke luar sangat dahsyat. Misalnya: 1). Seorang guru/dosen yang tidak memahami pengertian variable perubahan pada diri siswa secara khusus, dan manusia pada umumnya, sehingga memberikan penilaian tanpa diikuti sense of humanity(nurani) dan lebih mengedepankan aspek kaku kurikulum. Memahami peraturan yang demikian sebagai harga mati, sehingga tidak dimasuki wilayah kebijaksanaan. Akibatnya, siswa menjadi terhambat dalam studinya. Parahnya lagi, siswa mengalami depresi, yang akibatnya pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pendewasaan baginya justru sebaliknya, siswa menjadi semakin malas dan mutung (keluar) sekolah atau semangat belajarnya mengalami degradasi. 2). Seorang oknum polisi lalu lintas, yang tatkala ia menunaikan tanggungjawabnya sebagai polisi. Polisi tersebut menemukan sebuah kasus pelanggaran lalulintas, lalu ia menilang atau meminta denda di atas tangan. Polisi tersebut mengetahui apabila dia tidak memiliki apa-apa. Namun, dengan alasan undang-undang, polisi tersebut tetap meminta denda. 3). Bagaimana Bagaimana Century yang telah menelan dana dengan jumlah yang tidak sedikit, dengan tidak adanya transparansi baik proses pengucuran maupun pengalokasiannya, maka Century dan pihak yang bertanggungjawab atas itu adalah angkuh. 4). Bagaimana keadilan untuk pencuri buah kakao (coklat) di Purworejo, pencuri setandan pisang, maka pengadilan adalah angkuh. 5). dll. Contoh keempatnya itu, guru, polisi, birokrasi atas Century, pengadilan, dinamakan keangkuhan formalistik (keangkuhan berjubah aturan formal).
* Angkuh membakar alam melalui institusi yang dikuasainya?
Institusi yang angkuh juga memiliki kadar bahaya keluar yang sangat besar, dan lebih berbahaya daripada keangkuhan personal.
Misalnya: 1). Bagaimana tragedi lumpur lapindo. Tanpa terlepas dari bagaimana peristiwa tersebut, dengan belum dituntaskannya tanggungjawab Lapindo kepada rakyat yang terkena, maka Lapindo adalah angkuh. Dan seterusnya….
***
Ringkasan: Keangkuhan membuat pelaku (baik personal ataupun golongan) yang berakal menjadi idiot, semaunya sendiri, yang waras pun menjadi gila, mengubah peran dan fungsi peraturan melalui kekuasaannya, lebih menitik beratkan pada pelaksanaan aturan daripada tujuan dari aturannya, dan juga menjadikan birokrasi justru mempersulit pihak yang ditanganinya, bukannya mempermudah sebagaimana tujuan dari birokrasi, dan lain-lainnya.
*******0_0*******
Nb:
DR. Agus Dwi Handoko, Lc., M. Hum. dan Habib Muhammad Syarif Yahya Al_Husni (Lokasi di cafe Inyong, dekat Fak. Tekhnik UGM)
Tulisan ini saya torehkan setelah membaca tulisan kakak saya, silahkan klik di sini,Habib Muhammad Syarif Yahya Al_Husni, dengan judul tulisan, “Inilah Egoisme” (dipublikasikan di kompasiana pada 27 Juni 2010 | 18:21) dan membaca tulisan kompasioner Erlinda Sukmasari Wasitoyang yang berjudul, “Ketidakadilan Guru” (dipublikasikan di kompasiana pada 28 Juni 2010 | 21:26).
Setelah membaca tulisan tersebut, saya teringat dengan sahabat sekaligus kakak saya yang saya cintai dan saya hormati, DR. H. Agus Dwi Handoko, Lc., M.Hum., dan Habib Muhammad Syarif Yahya Al_Husni, yang beberapa tahun ini senantiasa mendampingi, memberikan banyak hal baik yang terkait dengan keilmuan, wawasan, serta dorongan hati agar senantiasa memberikan manfaat kepada siapapun dan di manapun. Saya banyak diajari bagaimana harus bertindak, arti sebuah kejujuran, ketulusan, kebersamaan, dan hal lain yang terlalu panjang apabila disebutkan satu persatu.
Saya menyanjung keduanya, mengingat betapa riskan diri ini yang sering terbuai dengan ragam perilaku yang tidak selayaknya saya lakukan, namun keduanya memberikan seutas benang yang dicoba dirajutkan pada diri yang retak ini dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Sikap saya yang terkadang manja dan kekanak-kanakan, namun itu tidak membuatnya kecewa dan marah, melainkan justru diterimanya sebagaimana seorang kakak yang bijaksana menghadapi adiknya.
Saya teringat, ketika saya baru saja pulang sehabis mengisi sebuah seminar, kemudian bertemu dengan keduanya. Saat saya di seminar, saya seolah seorang pembicara yang “ulung” di hadapan khalayak, namun begitu di depan keduanya, saya diperlakukan selayaknya seorang adik yang membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Saya diberi dorongan, diberi wawasan, hingga hal-hal yang tidak mampu saya selesaikan dengan penuh ketulusan dan total dibantu olehnya. Hampir setiap bertemu, kekurangan saya yang bisa dipenuhi oleh kedua kakak saya, selalu diisinya. Cara membantunya pun, saya merasa sangat indah, karena keduanya tidak pernah menggurui saya, tidak pernah menyampaikan dengan cara yang seolah mengarahkan, apalagi dengan cara yang kasar. Keduanya terasa bijaksana.
Terakhir, ini bukanlah sebuah curhatan hati saya, namun sebagai hadiah untuk diri saya sendiri atas semua ini. Saya menuangkan di sini bermaksud supaya bisa dipetik hikmahnya oleh diri saya sendiri. Pun manakala ada yang mebaca tulisan ini selain saya, semoga juga demikian.
***
Terimakasih….
*
Salam aktif dan kreatif,,,,